Locations of visitors to this page Jambi Medica: HEBOH '' ASTAGA TES PERAWAN UNTUK MELANJUTKAN SEKOLAH

Minggu, 06 Februari 2011

HEBOH '' ASTAGA TES PERAWAN UNTUK MELANJUTKAN SEKOLAH

Jambi Medica







SEKSUALITAS
Kekerasan Simbolis dalam Uji Keperawanan

Usulan anggota DPRD Provinsi Jambi, akhir bulan lalu, untuk membuat peraturan daerah uji keperawanan bagi siswi yang akan masuk SMP dan SMA menimbulkan protes keras Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Menteri Linda Amalia Sari menolak usulan itu karena melanggar hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 36 Tahun 1990 dan membuat Undang-Undang No 23/ 1990 tentang perlindungan anak.

”Kami heran, usulan seperti itu bisa keluar dari anggota DPRD yang seharusnya memahami pengarusutamaan jender (PUJ). Bu Linda sudah menyatakan, apabila usulan itu (dilaksanakan) akan merampas masa depan anak,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Wahyu Hartomo, Kamis (7/10).

Usulan uji keperawanan untuk siswi itu menimbulkan protes juga di kalangan penggiat kesetaraan jender karena merupakan bentuk kekerasan simbolis, mendiskriminasi perempuan, melecehkan integritas tubuh, dan melanggar HAM.

Menurut Wahyu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah berdialog dengan anggota DPRD bersangkutan. Dia mengatakan, tes ”hanya” berupa wawancara. ”Walaupun berupa wawancara, tetapi tes itu akan menimbulkan stigma yang akan terus terbawa hingga dewasa,” tandas Wahyu.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sedang menyusun surat edaran kepada semua kepala daerah mengenai panduan perlindungan anak dan PUJ. Pengiriman surat edaran ini merupakan langkah jangka pendek. Langkah yang lebih strategis yang tengah disiapkan adalah menyusun UU PUJ. Menurut Wahyu, RUU ditargetkan siap dibahas bersama DPR pada awal 2011.

PUJ masih lemah

Usulan uji keperawanan bukan kali pertama diusulkan. Sebelumnya, pada 2007, juga ada usul serupa dari Kabupaten Indramayu. Usulan mengetes keperawanan siswi sekolah itu akhirnya batal dilaksanakan bupati pada pertengahan Agustus 2007 setelah diprotes masyarakat .

Munculnya usulan tes keperawanan kembali menunjukkan rendahnya pemahaman pemerintah—eksekutif, legislatif, yudikatif—tentang PUJ. Seperti dikemukakan Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis dalam orasi guru besar Institut Pertanian Bogor dua pekan lalu menyebut, PUJ seperti diamanatkan Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, belum terintegrasi di keseluruhan program departemen. Kelembagaan PUJ belum memiliki kekuasaan membuat kebijakan karena pelaksana, yaitu unit pemberdayaan perempuan, bukan dari eselon penentu kebijakan (Kompas, 1/10).

Orasi berdasarkan temuan penelitian Aida Vitayala (2004) dan penelitian oleh Bappenas dan Kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan (2006) tersebut tidak berbeda jauh dari hasil pantauan Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menemukan, sepanjang 2009-2010 terdapat 63 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan, 38 perda di antaranya mengkriminalkan perempuan. Pada periode yang sama, hanya ada 7 perda yang tidak diskriminatif, sedangkan pantauan pada tahun 1999-2008 menemukan 154 perda diskriminatif.

Usulan membuat rancangan perda tes keperawanan di Provinsi Jambi selain memperlihatkan ketidakpahaman pejabat pemerintah tentang PUJ, juga menunjukkan pengaturan negara terhadap tubuh perempuan yang berakibat diskriminasi dan tak terpenuhinya hak konstitusi perempuan sebagai warga negara.

Komnas Perempuan dalam laporan ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia” (2010) menyebutkan, dari 154 perda diskriminatif yang lahir tahun 1999-2008, 106 kebijakan di antaranya menyebutkan alasan penerbitan kebijakan adalah moralitas agama, ”meningkatkan iman dan takwa”, dan lebih separuhnya spesifik menyebut tujuan ”mewujudkan karakter daerah”.

Penggunaan tubuh perempuan dalam menjaga moralitas masyarakat dan untuk politik pencitraan berakibat pada praktik diskriminasi. Perempuan menjadi sasaran penertiban karena dianggap paling mudah dikendalikan dan dicitrakan sebagai simbol moralitas komunitas.

Laporan Komnas Perempuan juga menyebutkan, pakaian yang dianggap sejalan dengan citra yang ingin diwujudkan pemda dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kabupaten, antara lain Banjar dan Bulukumba, menetapkan aturan yang secara jelas mengatur cara berpakaian perempuan sesuai aturan agama.

Sebanyak 38 kebijakan daerah yang melarang prostitusi ditujukan untuk menjerat perseorangan. Dalam masyarakat, prostitusi lebih sering diasosiasikan dengan perempuan. Akibatnya, dalam pelaksanaan kebijakan daerah, perempuan menjadi korban, seperti terjadi di Tangerang, Bantul, dan Indramayu.

Sepuluh tahun setelah Inpres No 9/2000, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan jender pejabat pemerintah masih memprihatinkan. Pemerintah masih mendiskriminasi, melalui kebijakannya, meski UUD 1945 menjamin hak, akses, dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negara.


Olla Ramlan: Tes Keperawanan Melanggar HAM

Artis Olla Ramlan dengan tegas menolak usulan tes keperawanan bagi para calon pelajar dan mahasiswi untuk masuk sekolah dan universitas. Presenter tamu acara musik televisi Dahsyat ini menilai, tes yang menuai pro dan kontra tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Masalah keperawanan itu, kan ada HAM (Hak Asasi Manusia) setiap orang. Ya, pokoknya masalah keperawanan itu kan masalah pribadi setiap orang dan itu kembali ke masing-masing orangnya," tutur Olla.

Kata Olla, usulan yang dilontarkan oleh DPRD Jambi tersebut perlu dipertimbangkan. Pasalnya, masih banyak masalah yang harus diperhatikan oleh wakil rakyat ketimbang persoalan keperawanan. "Lebih baik memikirkan bentrokan antargeng di (Jalan) Ampera (Jakarta Selatan) daripada soal keperawanan," tegasnya.

Seks Bebas
Seks Bebas, 51 Persen ABG Tak Perawan

Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri Medan, Meuthia Fadila Fachruddin mengatakan, pendidikan kesehatan reproduksi sangat bermanfaat dalam mencegah kalangan remaja akan bahaya seks bebas.

"Yang perlu diperhatikan saat ini, yakni pendidikan kesehatan reproduksi (kespro) remaja," katanya Selasa (28/12/2010) saat diminta komentarnya semakin maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja.

Saat ini sebagian masyarakat terlebih orang tua masih menganggap seks sebagai hal yang tabu, sehingga tidak ingin membicarakan masalah tersebut.

Padahal, pembicaraan terkait bagaimana seharusnya seks yang benar, perlu dilakukan terlebih kepada para remaja agar mereka memahami dampak buruk dari kegiatan itu.

Meuthia, mengatakan, menyukai lawan jenis di kalangan remaja merupakan hal natural, tetapi perlu diberikan pemahaman yang baik tentang cara dan waktu yang tepat untuk menyalurkannya.

"Dengan pendidikan kespro mereka akan mengenal bahaya dan dampak dari tindakan yang dilakukan di luar pernikahan itu sehingga berpikir untuk melakukannya," ujarnya.

Pergaulan bebas sejak dulu memang sudah mengkhawatirkan, namun para orang tua tidak pernah siap membekali anak-anak untuk melindungi diri mereka dari seks bebas tersebut.

"Terlebih lagi, teknologi informasi saat ini kian berkembang, sehingga berbagai informasi cepat disampaikan kepada masyarakat, khususnya remaja," katanya.

Sebelumnya, BKKBN mencatat hasil survei pada 2010 menunjukkan, 51 persen di Jabodetabek dan 52 persen remaja di Medan telah melakukan seks pranikah.

"Artinya dari 100 remaja, 51 sudah tidak perawan," ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief.

Pendidikan Seks Remaja Harus Disikapi Kritis

Masyarakat harus bersikap kritis terhadap muatan yang dirumuskan lembaga-lembaga tertentu baik pemerintah maupun swadaya masyarakat dalam memberikan materi pendidikan seks bagi remaja karena dapat menyemarakkan pergaulan bebas di kalangan anak muda. Hal tersebut diungkapkan Praktisi Kesehatan, Davina Chairunnisa,S.Kep,Ners di Jayapura, Minggu (28/6).

Menurutnya, hal tersebut disebabkan program pendidikan seksual saat ini tidak hanya mencakup fakta-fakta biologis, tapi juga menyuguhkan informasi dan keterampilan praktis kepada para remaja mengenai berkencan, pengenalan alat kontrasepsi serta penggunaannya dalam melakukan hubungan seksual yang sehat dan aman.

Di Indonesia pemerintah melalui BKKBN mengeluarkan kebijakan pendidikan kesehatan reproduksi melalui penyuluhan, seminar, buku saku dan dirumuskan dalam kurikulum formal maupun non formal.

"Hal yang harus diwaspadai, dari segi muatan, materi yang disampaikan berisi gambar dan penjelasan yang vulgar dan provokatif sehinggga malah menimbulkan keinginan para remaja untuk mencoba melakukan hubungan seksual," tandas Davina yang juga merupakan aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Lebih lanjut dia mengatakan, kebanyakan materi pendidikan seks yang saat ini sering digunakan untuk sosialisasi di kalangan remaja bersifat tidak tepat sasaran. "Seharusnya muatan pendidikan seperti itu lebih tepat untuk pasangan suami istri atau pasangan yang hendak menikah," ujarnya.

Davina mencontohkan, dampak dari pendidikan seks remaja yang keliru menyebabkan kaum remaja di banyak negara yang belum menikah malah menjadi kelompok yang lebih aktif melakukan kegiatan seks di luar nikah dengan menggunakan alat kontrasepsi.

Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja tentu akan memunculkan permasalahan sosial dan moral lainnya. Seperti jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, maka kemungkinan akan ada "pembunnuhan" terhadap jiwa-jiwa yang tidak berdosa melalui aborsi.

Oleh karena itu, Davina menghimbau agar masyarakat, khususnya orang tua mampu menjalankan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka tentang seks yang benar. Selain itu, sinergi antara orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah juga harus dilakukan untuk menghindari segala bentuk kegiatan yang mengarahkan generasi muda terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

Sebuah survei yang dilakukan di 33 provinsi pada pertengahan tahun 2008 melaporkan bahwa 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, sementara 21 persen di antaranya

"Membatasi penyelidikan ke keluhan-keluhan mengenai ketidakberesan hingga penghitungan kembali 10 persen kotak suara tidak dapat menarik kepercayaan rakyat dan meyakinkan pendapat umum mengenai hasil itu," Mouzavi mengatakan.

Abbasali Kakhodai, jurubicara Dewan Wali, mengatakan pada kantor berita Mehr Jumat malam bahwa para calon memiliki 24 jam untuk menunjuk wakil-wakil mereka untuk panel tersebut.

Calon di tempat ketiga Mohsen Rezai mengatakan Sabtu bahwa ia siap untuk meladeni panel itu dan minta rekan-rekannya yang kalah, Mousavi dan pembaru Mehdi Karroubi, untuk bergabung dengannya. Badan arbitrasi politik penting Iran, Dewan Kebijaksanaan, minta semua calon untuk bekerjasama.


Survei
Separuh Gadis Jabodetabek Tidak Perawan

Separuh remaja perempuan lajang di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi disebut tidak perawan karena melakukan hubungan seks pranikah. Tidak sedikit yang hamil di luar nikah.

"Dari data yang kami himpun, dari 100 remaja, 51 remaja perempuannya sudah tidak lagi perawan," ungkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief kepada sejumlah media dalam Grand Final Kontes Rap dalam memperingati Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11/2010).
... di Surabaya 54 persen, Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen.
-- Sugiri Syarief

Selain di Jabodetabek, ujar Sugiri, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN selama kurun waktu 2010 saja.

Ia menyampaikan, perilaku seks bebas merupakan salah satu pemicu meluasnya kasus HIV/AIDS. Mengutip data dari Kemenkes pada pertengahan 2010, kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun (48,1 persen) dan usia 30-39 tahun (30,9 persen). Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen).

Mengutip catatan Kementerian Kesehatan pula, jumlah pengguna narkoba di Indonesia saat ini mencapai 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antaranya atau 2,5 juta jiwa adalah remaja.

Tidak ada komentar: